Minggu, 23 Oktober 2016

Aku sedang sibuk, sayang

Aku sedang menghitung juntaian rambut dikepalaku, mencari cari pluto, atau spesies dinosaurus yang masih hidup, aku sedang menyelami laut mencari berlian penumpang titanic, apapun asal bisa menyibukkan. Menghabiskan waktu waktu yang tidak ada kamu di dalamnya. Sampai nanti suatu waktu dimana namamu disebut, tak lagi menyayat terdengar.
Disaat itu aku yakin komputer sudah jadi lauk pauk, manusia manusia sudah tak lagi pernah mandi takut berkarat atau daya listriknya padam.

Bukankah itu lebih baik, dari pada hanya terbaring memandangi kenangan kenangan yang tak kan pernah menyatukan pelakunya lagi. Tawa tawa basi kita yang sunyi kini. Air mata yang tidak ada tanganmu untuk mengusapnya. Pelukan pelukan penenang yang kini luntur dikulitku.

Untukmu, selagi kamu bahagia, tangisku tak kan pernah tumpah. Selamat menjelajah duniamu. Kalau wanitamu kelak menangis, jangan usap dulu airmatanya, biar mengalir ke tanah, menyatu lalu peluklah dia erat. Seakan kamu mampu menanggung semua sedihnya. Kamu pasti terlihat hebat. Aku pasti bangga.

Ini dariku. Pengemis.

Selasa, 18 Oktober 2016

Pelawak macam apa kita ini?

Aku pergi seolah semua itu murni karna aku bukan yang terbaik bagimu.
Tidaklah jadi masalah untuk semua sesak nafas yg hadir diantara kita. Semua jerih payah antar keduanya yang tidak terlihat satu sama lain.
Masalah ada di disini. Yang terlalu berlebihan menganggap sakit yang biasa. Terlalu mendramatisir hal hal yang amat wajar.

Akan tiba masanya dimana aku dan bumi menyatu. Biar hati ini dan tanahnya pula. Biar terasa kuat. Biar beban tak lagi ada di raga melainkan ditanggung bersama oleh bumi yang sudah biasa merasa perih, basah.

Jadi, sempatnya aku hadir dalam dirimu bukan menjadi masalah besar kan. Ketika aku hilangpun akan ada alasan logis. Ya, bukan lah yang terbaik, maka dia pergi.

Jadi, seketika aku menganggap semua ini lucu, ketika aku sadar selama ini rongga rongga yang rasanya perih adalah pedangku sendiri yang dengan sengaja aku tancapkan.
Jadi,selama ini aku salah menilai, kukira kamu yang berkhianat, ternyata aku yang terlalu percaya diri memilikimu.
Kukira selama ini kamu yang melukai, padahal aku yang terlalu menyayangi.
Kukira selama ini aku berjuang mati matian membangun kembali reruntuhan, ternyata aku yang menghancurkannya sendiri.
Kukira selama ini kamu yang playboy. Ternyata aku yang tidak besar hati menerima. Atau aku yang tidak cukup bersyukur sempat ada dalam celah hatimu.

Sekarang, bolehkah aku tertawa untuk kehancuran yang kuciptakan sendiri? Pelawak macam apa kita ini?

Dan yang terakhir, paling terkakhir dalam sajak kita : kalau aku bukan yang terbaik, biarlah aku melihat dari kejauhan betapa orang lain hadir jadi yang terbaik.

Rabu, 12 Oktober 2016

Rumah.

Sejauh mata memandang bumi, lewat gambar gambar dimedia sosial. Begitu takjub indah. Begitu sejuk hijau menenangkan. Begitu luas terhampar mendamaikan. Begitu nikmat melambai mengajak. Tapi tempat yang begitu surga di alam ini ialah rumah. Beserta penghuni penghuni didalamnya.
Sekarang ini, dan dalam waktu yang tanpa jeda, aku rindu rumah.
Rumah dan ibu bapak, adik adikku, dan semua yang singgah. Aku melebihi sangat mencinta , lebih dari rindu, lebih dari jarak mengitari bumi. Aku berharap berada di suatu hari dimana aku menuju stasiun kereta dan mendekat menuju rumah. Aku berharap ini adalah keadaan dimana aku membawa semua kebanggaan yang orangtuaku harap, dan aku pulang mengenakan selempang selempang congratulation, dan aku memeluk semua nafas penghuni rumah. Nikmat sekali. Damai sekali. Sampai tak lagi ingin menjelajah menapaki paradise paradise yang diposting orang. Paradise ku adalah kalian, rumah.
Semogakan, rumah ku akan selalu lengkap. Dan nyawaku tetap utuh. Semangatku tetap bergemuruh. Dikirim dari doa ibu dan bapak setiap sujudnya.


Dariku, yang keterlaluan rindu.